Pengamat telah mengingatkan kita tentang dampak dari kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen tahun depan. Ronny P Sasmita, Analis Senior dari Institut Aksi Strategis dan Ekonomi Indonesia, mengatakan bahwa kenaikan ini akan berdampak pada konsumsi rumah tangga. Harga barang dan jasa kemungkinan akan naik karena perusahaan cenderung menaikkan harga jual untuk menutupi biaya tambahan akibat kenaikan PPN.
Ronny juga menyebutkan bahwa jika daya beli masyarakat terus tertekan oleh kenaikan harga, maka konsumsi akan menurun. Hal ini akan berdampak pada penurunan permintaan, yang kemudian akan mengakibatkan kontraksi dalam produksi perusahaan. Dampak dari kenaikan PPN juga dapat berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) dan memburuknya prospek investasi di Indonesia.
Eko Listiyanto, Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), juga mengingatkan bahwa kenaikan PPN bisa memperlambat laju pertumbuhan ekonomi. Dia menyarankan agar pemerintah tidak gegabah dalam menaikkan PPN tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi yang sedang lesu.
Meskipun kenaikan PPN baru akan terjadi mulai tahun depan, konsumsi rumah tangga sudah menunjukkan penurunan sejak sebelum pandemi COVID-19. Eko menekankan pentingnya untuk memperhatikan tren konsumsi sebagai indikator kesehatan ekonomi.
Sri Mulyani, Menteri Keuangan, menjelaskan bahwa kenaikan PPN menjadi 12 persen mulai tahun 2025 sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Meskipun banyak kontroversi seputar kenaikan pajak di tengah melemahnya daya beli, Sri Mulyani menegaskan bahwa APBN harus tetap dijaga kesehatannya sebagai instrumen untuk merespon ketidakpastian ekonomi.
Dalam situasi seperti ini, penting bagi pemerintah untuk memperhitungkan secara matang dampak dari kebijakan kenaikan PPN. Keseimbangan antara meningkatkan penerimaan negara dan menjaga daya beli masyarakat harus menjadi prioritas utama. Semoga kebijakan yang diambil dapat memberikan manfaat yang seimbang bagi semua pihak.