Inkonstitusionalitas dan Kegagalan Sistem Politik yang “Disengaja”

Mahkamah Konstitusi telah memainkan peran penting sebagai pahlawan judicial dalam Putusan MK No 60/PUU-XII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024. MK membatalkan syarat usia dalam pencalonan Pilkada yang menjadi masalah. MK juga menurunkan ambang batas pencalonan agar setara dengan calon independen. Ini adalah harapan setelah sebelumnya dihadapi isu Mahkamah Keluarga. Sekarang, lembaga ini kembali menjadi penjaga konstitusi dengan keputusan-keputusannya yang final dan mengikat. Namun, tidak lama setelah itu, MK dihadapkan pada masalah lain yang datang dari luar. Ketidakpatuhan terhadap keputusannya terjadi selama transisi rezim, di mana Zainal Arifin Mochtar (2022) menggambarkan bahwa tidak ada regulasi dalam sistem konstitusional yang dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Perubahan sikap dan perbedaan interpretasi konstitusional bisa terjadi karena pertimbangan hakim yang agak abstrak. Hal ini bisa menyebabkan pihak yang menindaklanjuti keputusan tersebut melakukannya dengan cara yang berbeda. Namun, ini adalah masalah metodologis yang harus dipahami dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Kini, kita menghadapi krisis dalam dimensi etika dan konstitusional. Perbedaan interpretasi konstitusional bisa dimaklumi, tetapi ketika tindakan yang diambil adalah inkonstitusional, itu sama saja dengan menghina konstitusi.

Ketidaksediaan untuk mematuhi Putusan MK bisa saja diatasi dengan mengeluarkan Perppu Pilkada, meskipun langkah ini juga perlu dikritik. Dengan Perppu, setidaknya ada alasan darurat seperti pelaksanaan Pilkada yang akan segera dilakukan. Namun, tindakan ini seharusnya dilakukan dengan cara yang konstitusional, bukan dengan mengabaikan putusan MK melalui legislasi biasa. Revisi UU Pilkada yang akan disahkan seharusnya mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi dengan baik.

Tindakan yang dilakukan saat ini bukan sekadar perbedaan interpretasi konstitusional, tetapi merupakan tindakan yang jelas-jelas inkonstitusional. Kesengajaan ini bukanlah karena alasan etis, namun semata-mata karena keinginan untuk berkuasa. Konstitusi memiliki dimensi aturan hukum dan etika, sehingga tindakan ajudikasi konstitusional oleh MK harus dipertimbangkan secara mendalam.

Tidak ada nilai etika dalam tindakan pembangkangan oleh DPR (dan diamnya Presiden). Hal ini merupakan bentuk pembangkangan konstitusi yang sangat buruk. Pembangkangan dapat terjadi karena pertentangan hati nurani atau karena tidak peduli pada hukum. Dalam kasus ini, yang terjadi adalah yang kedua.

Masyarakat bisa melakukan gerakan ekstra konstitusional untuk melawan tindakan inkonstitusional para penguasa. Langkah ini dilakukan untuk menjaga iklim demokrasi yang lebih baik dan melawan tindakan berbahaya oleh penguasa. Gerakan ini harus didukung oleh lembaga yudikatif sebagai pemegang daulat tertinggi.

Pada akhirnya, aturan konstitusional harus diperbaiki setelah respons balik dari rakyat. Momentum amandemen harus dimanfaatkan untuk membatasi kekuasaan yang berlebihan. Opini ini bertujuan untuk merespons situasi krisis dan inkonstitusionalitas yang sedang terjadi. Semoga langkah-langkah yang diambil dapat membawa perubahan positif bagi negara kita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *