Ekonom melihat bahwa pemerintah harus bekerja lebih keras karena kebijakan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) yang pro-stabilitas dan pro-pertumbuhan saat ini, ternyata belum cukup efektif dalam mendorong ekonomi tumbuh lebih cepat. Seperti yang disampaikan oleh Bank Indonesia, BI Rate yang tetap di angka 6% saat ini bertujuan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. BI sendiri mengakui bahwa fokus utama mereka adalah menahan depresiasi rupiah, bukan mendorong suku bunga lebih rendah untuk pertumbuhan ekonomi. Jadi, meski mereka belum memangkas suku bunga lebih lanjut, BI tetap berusaha mendukung ekonomi lewat kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM). Namun, Piter Abdullah Redjalam, Direktur Eksekutif Segara Institute, mengatakan bahwa sejak lama kebijakan BI Rate dan KLM terbukti kurang efektif dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Contohnya, saat BI Rate turun ke level terendah di 3,5% antara Februari 2021 hingga Juli 2022, ekonomi justru stagnan di angka 5%. Menurut Piter, hal ini terjadi karena suku bunga acuan BI tidak terlalu mempengaruhi suku bunga kredit atau penyaluran kredit di Indonesia. Bahkan, meskipun BI Rate dipangkas 25 basis poin pada September 2024, suku bunga kredit hanya sedikit turun, dari 9,21% di Agustus menjadi 9,17% di Oktober 2024. Padahal, suku bunga kredit yang rendah biasanya mendorong masyarakat untuk meminjam uang dan mengembangkan usaha. Sebaliknya, jika suku bunga tinggi, orang akan lebih berpikir panjang sebelum meminjam. Piter pun menegaskan bahwa penurunan BI Rate baru akan berpengaruh signifikan terhadap perekonomian jika diimbangi dengan perbaikan di sektor fiskal dan riil.
Di sisi lain, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk., Josua Pardede, memiliki pandangan berbeda. Ia melihat kebijakan BI saat ini sudah cukup baik untuk mendorong ekonomi, meskipun dampaknya mungkin butuh waktu. Menurut Josua, penurunan suku bunga biasanya bisa meningkatkan permintaan kredit dari rumah tangga dan perusahaan, yang akhirnya mendukung konsumsi dan investasi. Namun, efeknya tidak langsung terasa pada PDB. Sementara itu, kebijakan makroprudensial, yang lebih fleksibel, bisa langsung mendorong sektor riil tanpa mengorbankan stabilitas moneter. Josua berpendapat bahwa kebijakan makroprudensial lebih efektif dalam jangka pendek untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, karena langsung berpengaruh pada sektor-sektor tertentu dan konsumsi rumah tangga. Jadi, meski suku bunga tetap berperan, dampaknya lebih terlihat melalui stabilitas nilai tukar dan inflasi.
Untuk 2025—2029, Kementerian PPN/Bappenas merancang target pertumbuhan ekonomi secara bertahap, dimulai dari 5,7% dan mencapai 8% di 2029. Namun, IMF malah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan stagnan, hanya mencapai 5,1% pada 2029.